|
---|
Thursday, February 17, 2011
Kegiatan di Jakarta seperti tak kenal henti. Pagi, siang atau malam hari, roda ekonomi terus menggeliat. Begitu juga sarana hiburan. Aktivitas di tempat itu, seakan tak pernah mengenal kata habis.
Salah satu mata rantai perputaran uang terbesar di Ibu Kota adalah wisata malam. Hampir di sepanjang jalan bertebaran tempat hiburan malam, mulai dari warung remang-remang kelas jelata hingga klub-klub tempat berkumpul kalangan jetset.© haxims.blogspot.com
Kawasan Kalijodo di Jakarta Utara adalam tempat wisata malam kelas bawah yang sudah kondang sejak lama. Tak hanya di pinggiran jalan, di lorong-lorong perkampungan padat penduduk pun kafe-kafe menjamur.
di kawasan Kalijodo masih banyak kembang-kembang malam yang berusia 14 hingga 17 tahun atau anak baru gede (ABG). Ada yang bekerja sebagai pelayan kafe. Namun, ada pula yang terang-terangan menawarkan servis sebagai pekerja seks komersial (PSK). Seperti yang dilakukan warga Padalarang ini. Sekali kencan di bilik-bilik di dalam kafe dia mematok tarif sebesar Rp 200 ribu.
Polisi bukannya tinggal diam. Beberapa waktu lalu, kafe Nirwana yang dikenal kerap menyediakan jasa pekerja seks anak ini digerebek aparat Kepolisian Sektor Penjaringan Jakut. Pemilik kafe Abdul Rahman dan dua karyawannya, yakni Eko dan Akiong digelandang ke kantor polisi. Mereka ditahan karena terbukti mempekerjakan enam anak di bawah umur sebagai pekerja seks.
Lain halnya di Subang, Jawa Barat. Sebuah keluarga merelakan anak gadisnya menjadi pekerja seks. Seperti kakak beradik ini, sebut saja Lala dan Lili. Diusianya yang masih belasan, keduanya sudah cukup lama malang melintang sebagai PSK. Mereka jadi tulang punggung keluarga karena orangtuanya tak mampu lagi mencari nafkah.
Di kehidupan malam rupanya banyak kasus perdagangan gadis di bawah umur terjadi. Tak hanya di diskotek mewah, hawa gemerlap dunia malam juga mewabah ke pinggiran jalan dengan anak di bawah umur sebagai pekerjanya.
Biasanya para germo mendapat gadis-gadis belia melalui perantara makelar. Biasanya dengan iming-iming imbalan uang, keluarga sang gadis merelakan anaknya dibawa ke kota. Alasannya untuk dipekerjakan di salon, kafe dan tempat-tempat hiburan, tapi ujung-ujungnya di tempat seperti itulah mereka berada.© haxims.blogspot.com
Tim Sigi menelusuri salah satu daerah yang kerap disebut-sebut sebagai pemasok pelacur ABG, yaitu di Cianjur, Jabar. Salah satu broker pekerja seks di kota ini, sebut saja Ajeng, mengaku, biasanya untuk setiap satu perempuan yang dipasoknya ia mendapat uang jasa Rp 700 ribu dari para germo.
Para broker seperti ajeng ini biasa bekerja untuk germo yang ada di kota-kota besar seperti, Jakarta, Bandung, bahkan Papua. Mereka berburu gadis-gadis belia begitu ada permintaan dari sponsor.
Dinas Sosial setempat mengaku kewalahan menghentikan aksi para broker pekerja seks ini. Aparat Dinsos tidak bisa menjangkau seluruh desa yang ada di Cianjur karena keterbatasan dana dan anggota.
Bisnis pemuas nafsu ini memang tak pernah mati, bahkan makin menjamur di kota-kota hingga pelosok. Modus para penjaja seks makin canggih. Tak hanya cara konvensional dengan menjajakan diri di pinggir jalan, namun kini merambah dunia maya.
Situs-situs online dan jejaring sosial, seperti Facebook menjadi piranti penunjangnya. Tinggal pasang foto diri dengan pose seksi, transaksi bisa segera dimulai. Di Jakarta, omzet bisnis esek-esek ini terus meningkat.
Berdasarkan survei dua tahun lalu di 12 provinsi yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak menemukan sekitar 93 persen lebih anak sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) pernah melakukan ciuman sampai oral seks. Bahkan 62 persen anak SMP mengaku sudah tidak perawan dan lebih 21 persen siswa SMA mengaku pernah melakukan aborsi.
Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah mulai dari imbauan sampai pada razia di berbagai tempat. Namun, bukannya berkurang jumlah pekerja seks komersial justru makin bertambah terutama gadis-gadis muda yang ingin mencari jalan pintas.
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)