RECENT POST

Friday, January 28, 2011

Menyusuri lebuh-lebuh jalan sepanjang jalan Ho Chi Minh City - nama pengganti dari kota yang semula bernama Saigon - kita seakan-akan menyadari bahwa separuh penduduk kota ini pekerjaannya memasak dan berjualan makanan, sedangkan separuh lagi merupakan konsumennya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9Q17jdeUfsMDWRyn7BidiqNSFuSMHfR70RZiWtpRx1k4sH90HT79RSVwoim7TIy86LtgOt9jkxaH6LOTP62E8cruec1Bket0-sOT00eieaS9GP3f204Lp5RsTfTWh6q2Ik7zB2MYOFc0/s400/Banh+Nam.jpg

Ciri seperti ini juga tampak di Bangkok dan di beberapa kota Indonesia. Berjualan makanan tampaknya memang merupakan jenis bisnis yang paling pertama dipikirkan oleh setiap orang Asia. Soalnya, semua orang harus makan, bukan?

Tetapi, para pedagang makanan kelas kaki lima di Saigon dan Bangkok jauh lebih banyak ragam dan jenisnya dibanding dengan yang kita lihat di Indonesia. Di Indonesia, sering kali kita melihat satu ruas jalan dipenuhi penjual jagung rebus dan bakar – semua sama dan berderet-deret. Atau sepanjang jalan semua berjualan pisang goreng. Kalau sedang ke Jakarta Fair, misalnya, saya sendiri bingung bagaimana caranya memilih dari belasan penjual kerak telur di sana.

Di kota-kota Thailand dan Vietnam, para pedagangnya lebih pintar memahami keanekaragaman. Di satu ruas pendek dekat Pasar Ben Thanh, misalnya, kita mudah mendapati puluhan jenis makanan yang berbeda. Penjual buah potong, jagung bakar, jagung rebus, juhi (cumi kering yang dibakar dan kemudian ditokok-tokok dengan palu), carrot cake (char kue kark), berbagai jenis lemper atau lemang (bahan utamanya ketan putih dan ketan hitam, tetapi isinya bermacam-macam, seperti: kacang merah, daging ayam, daging sapi, daging babi, dan lain-lain), baguette (roti prancis) dengan berbagai isi (udang, daging sapi, bebek panggang, dan lain-lain), mi kuah, serta masih banyak lagi.

Seperti pernah saya ceritakan dalam kunjungan-kunjungan sebelumnya ke Ho Chi Minh City, para pedagang ini rata-rata memakai pikulan atau gerobag dorong, dengan membawa beberapa dingklik kecil rendah untuk para pelanggan. Pelanggan duduk mengitari penjual.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipE-RNW0sB_h-siXL4cPtBOOUaXtP8Wb6I__3twmq-vv7utc9CMdVQRnDa2x90XEHiIFa-aUTLw8II31dXXPAPifIQmkXqn4soWWI5I1A4jQKiqn0MhnBJMS9lLLG0rq9TTfsRosv9H74/s400/banh+nam+LA.jpg

Ada yang melihat ke dalam, ke arah penjual, sambil asyik memerhatikan penjual menyiapkan makanan. Ada pula yang melihat ke arah luar, yaitu melihat lalu lintas. Dua-duanya merupakan alternatif yang baik. Soalnya, penjualnya sering perempuan cantik nan semlohai. Sedangkan yang lalu-lalang pun tak kalah syur-nya. Secara umum, suasananya sangatlah proletar.

Ada satu jajanan pinggir jalan yang menarik perhatian saya. Jajanan ini harganya sangat murah, dan bahan utamanya adalah banh trang – yaitu rice paper. Dibuat dari tepung beras, setipis kertas, digunakan untuk membungkus segala macam makanan. Sekalipun kering, begitu bersentuhan dengan kelembaban sayur atau daging yang dibungkusnya, banh trang ini segera menjadi lembek dan dapat digulung seperti kulit lumpia.

Jajanan yang satu ini tampaknya populer di kalangan anak-anak dan remaja. Di atas selembar banh trang, diletakkan tiga bakso kecil, lalu ditambah guntingan banh trang, rajangan daun slada, tauge, disiram kuah tiram kental, dan kemudian digulung menjadi semacam lumpia.

Sebagai pengganti bakso kecil adalah sosis, atau telur burung puyuh. Harganya hanya sekitar dua ribu rupiah. Sambil duduk kongkow santai, seorang bisa menghabiskan tiga sampai empat jajanan. Tentu cukup mengenyangkan karena banh trang dibuat dari beras.

Bun Bo Hue

Saya sempat singgah ke sebuah warung kecil di dekat Pasar Ben Thanh dengan papan nama yang menarik perhatian saya, bertulisan: Bun Bo Hue. Lho, makanan apa ini? Kok, sebelumnya saya kelewatan?

Hue adalah nama sebuah daerah di bagian tengah Vietnam. Artinya, ini adalah bun bo (mihun daging sapi) dari daerah Hue. Di warung itu ada penjelasan bahwa mihun sapi kuah ini mengikuti tradisi kuliner Dong Son di masa lalu. Tetapi, sekalipun dagingnya sapi, sering kali juga dicampur dengan kikil atau daging dari lutut babi.© haxims.blogspot.com

Mihunnya agak lebar, pipih, dan dibuat dari beras – mirip kuetiauw. Kuahnya cukup pedas – sekalipun dapat dipesan khusus bila tidak suka pedas – dengan tendangan rasa asam dari jeruk nipis dan sereh yang cukup kuat, serta rasa herba yang complicated. Di warung ini, terasa sekali bahwa kuahnya memakai semacam trasi. Di meja juga tersedia sambal trasi untuk menambah kepedasan dan kegurihan kuahnya.

Daging sapinya direbus dengan bumbu, dan diiris tipis-tipis. Daging tambahannya dapat dipilih sendiri. Ada kikil babi, juga ada buntut sapi. Kalau Anda kangen sop buntut, warung bun bo hue adalah tempat untuk melepas kerinduan. Kadang-kadang juga ada warung yang menyediakan darah sapi/babi kukus, dipotong dadu, lalu digoreng.

Sama dengan pho (mi khas Vietnam) yang tentunya sudah Anda kenal, bun bo juga disajikan dengan tauge mentah, daun ketumbar, irisan cabe rawit, dan jantung/bunga pisang kukus yang dirajang tipis. Secara umum, kuah bun bo memang lebih gurih dan lebih berbumbu bila dibanding kuah pho yang lebih bening.

Di warung ini saya juga sempat mencicipi beberapa side dishes khas dari Hue. Yang pertama adalah banh nam. Tampilannya mirip pepes tipis lebar, dibuat dari tepung beras dengan udang cincang. Dari segi tekstur dan citarasa, mirip cong fan udang yang sering hadir pada hidangan dim sum.

Ada lagi banh bot loc, tampilannya mirip banh nam, tetapi isinya dari tepung tapioka dengan babi cincang. Hidangan lain yang saya cicipi adalah chao tom, yaitu sate lilit udang yang memang telah menjadi sajian populer khas Vietnam. Udang cincang berbumbu yang dililitkan pada sepotong tebu. Banyak restoran menyajikan chao tom sebagai hidangan pembuka. Tetapi, yang gagrak Hue ini agak lebih pedas.

Bar

Setelah puas mencicipi berbagai sajian pinggir jalan, saya pun mendinginkan sol sepatu yang panas karena sudah berjalan jauh. Pilihan saya jatuh pada tempat favorit di Caravelle Hotel. Di lantai atap bangunan lama hotel ini ada sebuah bar yang sangat terkenal. Namanya Saigon Saigon. Di masa Perang Vietnam, Caravelle menjadi semacam markas besar semua wartawan perang asing. Akibatnya, Saigon Saigon menjadi watering hole yang paling populer bagi para wartawan perang yang bertugas di Vietnam ketika itu.© haxims.blogspot.com

Sayangnya, malam itu ada pesta sebuah perusahaan di tempat itu, sehingga semua kursi sudah terisi ketika saya tiba di sana. Maka, terpaksalah saya mencari tempat lain. Di masa Perang Vietnam dulu, the second best place untuk para wartawan kongkow adalah Rooftop Garden di Ben Thanh Hotel. Sebelumnya, bangunan pojok di jalan utama Ho Chi Minh City itu adalah ruang pamer mobil Citroen dan mobil-mobil Prancis lainnya. Bangunannya bergaya art deco. Sekarang, Ben Thanh Hotel sudah direnovasi dan sulih nama menjadi Rex Hotel.

Terus terang, pada saat sekarang, dari segi pemandangan, Rooftop Garden lebih bagus dibanding Saigon Saigon. Sebabnya, di sekitar Caravelle sudah dibangun gedung tinggi, sehingga menghalangi pemandangan. Rooftop Garden dengan posisi di sudut jalan berada pada lokasi yang lebih strategis dan pemandangannya pun lebih luas.

Malam itu, saya beruntung menemukan sebuah menu tradisional Vietnam di Hoa Mai, sebuah restoran persis di sebelah Rooftop Garden. Sajian khas itu adalah sayap ayam diisi ketan, lalu dipanggang dalam oven. Ketannya pulen dan gurih, sayap ayamnya gendut dan juicy. Hmm, mak nyuss!


0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online